Rabu, 04 Februari 2009

Autokritik dan Puasa.

Autokritik dan Puasa.

Kurang dari 12 jam WBR (Waktu dunia Bagian Rotterdam), memasuki bulan puasa, bulan suci Islam. Jujur secara batiniah aku akui bahwa ada nuansa yang berbeda, mungkin hal ini hadir secara otomatis yang di pengaruhi oleh proses pergulatan religi-ku selama ini. Namun secara real life yang ada disini adalah business as usual, besok homeport, loading, embarkasi, mboyot dan daging kotak, seperti kaset usang yang di putar terus menerus, dan berhenti sewaktu kita repatriasi.

Bila kita mengenang perjumpaan bulan Ramadhan sewaktu di kampung dulu, ada adat padusan atau mandi besar yang di maknai untuk mempersiapkan semuanya dalam keadaan bersih dan suci. Dan masih ingat kah kalian, di siang harinya saking kemaruknya kita kumpulin buah buahan segar, bikin persiapan buka dengan bikin segala macam es serta acara yang tidak ketinggalan Ngabuburit kata Om Dedi. Betapa acara TV yang paling di tunggu tunggu adalah azan magrhrib. Namun setelah beberapa teguk air membasahi kerongkongan ternyata yang kita kumpulkan dan persiapkan tadi rasanya menjadi mubazir.

Guru agama sewaktu di smp dulu bilang bahwa “hakikat puasa adalah pengendalian diri, mengekang diri dari hawa nafsu dan memanifestasikan rasa penderitaan yang dialami sesama. Didalam puasa itu pula bisa mengambil hikmah akan arti kekuatan kemanusiaan untuk kemulian, dan itu semua bisa kita rasakan selagi lapar dan dahaga sebagai bentuk dari penderitaan”.

Jujur aku akui bahwa nasihat guru agama itu belum aku resapi dengan baik dan sempurna, bila dilihat dengan output yang selama ini aku lakukan. Bahwa proses pembelajaran untuk mengambil hikmah dari nilai kemulian untuk berbagi penderitaan itu sungguh suatu hal berat nian. Bahkan bukan lagi sering kalau aku mengeluh menu hari ini daging kotak, dan terhitung lagi berapa kali nasi ku tersisa dan terbuang, sia sia. Sering kuisi perut ini penuh dengan makanan sehingga bernafas pun berat. Padahal sering sabda Nabi yang ku perdengarkan, bahwa bagilah perutmu menjadi tiga bagian, 1/3 makanan, 1/3 air dan sisanya adalah udara. Sering aku abaikan adagium bahwa Ibu dari segala penyakit itu adalah makan yang kita makan. Ketika Nabi Muhammad hanya makan tiga butir kurma untuk berbuka puasa disitulah seharusnya aku mengambil hikmah bahwa dunia bukan tempat kerakusan, kemanusiaan jauh dari sikap rakus.

Sabda nabi, “ Jihad yang terbesar adalah berperang melawan hawa nafsu” hawa nafsu diri sendiri. Kiranya bukan lagi hal yang di perdebatkan bahwa itu adalah kebenaran yang absolute. Betapa sering aku merasa sok suci, bila aku menoleh ke rata rata temanku disini, padahal yang kulakan hanya kadang di hinggapi rasa spiritualitasme manusia, sarung dan kopiah sebagai atribut pembenaran dan bahan pencari perhatian. Bahkan rutinitas sholatpun kadang masih sebagai sekedar alat untuk membatalkan kewajiban, bukan tepat waktu dan kekusukan menjadi keutamaan. Ya Allah sungguh picik dan kerdil sekali aku ini.

Puasa adalah suatu kewajiban yang harus di jalani oleh umat muslim, namun bukan menihilkan dari aktifitas lainnya. Pencarian rejeki yang secara kebetulan berjumpaan dengan bulan suci itu adalah anugerah, terlepas dari lingkungan sekitar kita yang liberalis dan kapitalis yang terpaksa kita hadapi dalam keharian. Mungkin sudah takdir kalau kita mengais rejeki disini, di atas kapal, jauh dari sanak famili. Nabi Muhammad mewariskan pada kita `bahwa kerja harus diartikan sebagai kerja, bukan menciptakan keinginan yang berlebih-lebihan'.
Sudah ah, bukan kah nilai agama disekolah dulu tak pernah mendapatkan angka 8? Tak pantaslah aku mendongeng, berkhotbah sementara jidatku sendiri belum khusuk dalam bersujud, dan pengetahuanku hanya cukup buat diri sendiri. Sebetulnya kali aku hanya ingin memaparkan autokritik dan seraya berucap, “Selamat menjalankan Ibadah Puasa, ma’af apabila ada kesalahan”.